secuplik li(f)e

Anjani POV
Sampai waktu mengetuk palu pertemuan terakhir kita pada sore itu, maka saat itu juga sudah bulat perasaan ku untuk tak minta ini itu. Majun, titipin tuhan terindah, yang dengan matanya aku bisa merasa bergetar, darahku mengalir lebih cepat, jantungku bedenyut-denyut tak karuan, aku bisa melihat lautan dimatanya, laut yang luas yang menyimpan sejuta peristiwa.

Aku tak menyesal, membuat keputusan untuk penghianatan terbesar. Aku yakin tak lagi menggenggam yang salah, saat aku disodorkan antara dua keputusan di kala itu. aku menghancurkan hati orang itu berkeping keping, dan menerima hati majun yang dia sodorkan untukku. aku masih berharap karma tak lagi bekerja untukku, tapi nyatanya perpisahan yang terjadi pada perjalanan hubungan kita itu bisa disebut karma karena tak pernah terjadi sebentar. Tiap pergantian hari aku berdoa, dalam deru angin dingin yang masuk lewat jendela, kisah kita berujung bahagia.

Di lautan sana, apakah hujan menyertai ujung senjanya? Apakah kau juga berusaha mengirimkan sepucuk surat ke langit sama dengan yang kulakukan kali ini? waktu bergulir tak berhenti, kau pasti tahu seberapa kesepian aku, seusai kuliah tadi yang kulakukan hanya bersama laptop tua mengetik ini itu yang kusodorkan pada blog agar dia mengabadikan kita, begini caraku menaklukan rindu yang menggumpal yang tak bisa terucap dimulutku, yang tak bisa kuceritakan pada orang lain secara langsung, ini sudah terlalu dingin majun, pulanglah di waktu yang tidak terduga.

Bunga di sudut ruangan itu sudah layu, meranggas, tak lagi terurus. Airnya telah keruh dihadiri oleh jentik nyamuk nakal yang kecil kecil. Hatiku ngilu, saat mengingat pada malam itu kau sodorkan ketanganku dengan penuh romantisme tingkat tinggi di meja makan di bawah temaram lampu restaurant hotel bintang lima. Aku tercekat dengan harga makanan yang selangit, yang membuatku tak betah ini itu selalu minta pulang. Kau menenangkan aku disela sela musik biola klasik yang mengalun indah dan dengan lampu yang agak remang ditambah cahaya dari lilin yang panjang panjang.

Kau lihat di luar kamar ini jun? Meja makan yang teronggok tanpa makna. Aku tak pernah menggunakan meja ini sejak kau hidangkan sepiring pasta lezat sebelum keberangkatanmu ke seberang lautan kala itu. Meja itu begitu saja hari ke hari karena aku sangat jarang memasak makanan yang kuhabiskan tiap hari di rumah. Sepi sekali bukan? Meja itu penuh debu yang hanya kubersihkan seminggu sekali, setiap kusapu lantainya seakan akan masih ada kau saat itu membetulkan caraku dalam menyapu sudut meja. Rumah ini pernah ramai jun, dengan semua kenangan kita.

Sudah 4 bulan, pagi ke pagi, malam ke malam, siang ke siang

Aku rindu kau dalam bisu, menunggu mu yang sesekali menelepon dari sana, untuk panggilan yang tak lebih dari 10 menit, ingin rasanya saat itu aku bisa larut dalam sinyal operator dan membawaku langsung di depanmu, seperti khayalan tingkat dewa menaklukan teori tentang zat dan materi.


Jawablah aku dalam diammu, saat malam sudah terbuka lebar karena senja baru saja berakhir...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Saraf Pada Ikan

Filosofi barang antik