Dosakah aku?
Aku
bingung apa yang terjadi dalam diriku akhir akhir ini. ketenangan hidupku
terganggu, sifat dinginku sedikit demi sedikit terkikis oleh seseorang yang
berani mengambil resiko mendekati cewek yang kegaranganya melebihi mak lampir.
Mak lampir? Ya itu gelarku selama aku duduk di bangku sma
“woi, lo pulang sendirian gue
antar ya”ucap anak baru yang tadi pagi dikenalkan oleh pak subono;namanya andre
Aku menatapnya sejenak tak
berkomentar apa apa . Berani sekali dia. Apa dia belum mendengar apapun
tentangku. Lalu aku tetap meneruskan langkahku.
Lalu dari belakang temanku yang
lain berkomentar. Jangan dekati dia, hati
hati sama dia mak lampir!
Semua teman kelasku beranggapan
aku adalah seperti itu, semua tahu reputasiku. Aku adalah manusia anti sosial
menurut mereka. Aku kutu buku, nggak fasionable,berkacamata tebal, nggak bakal
nyambung membicarakan hal hal yang yang menurut mereka sedang hangat untuk di
desas desuskan. Mode baju, cowok cakep, gosip siapa yang jadian putus, dan
putus nyambung. Hal itu semua membosankan, aku memilih duduk diam di kursi
paling belakang hanyut dalam kegaduhan buku buku yang menurutku adalah kumpulan
kata kata bermakna, dan bisa bicara bahkan omonganya lebih cerewet dari omongan
manusia paling cerewet di kelas ini;luna
Dan hidupku adalah kumpulan
ambisi ambisi yang terukir dalam benakku dari kecil. Aku tak mau bergaul karena
aku lebih mementingkan derita ibu yang sibuk menjadi buruh cuci, aku lebih mementingkan
bagaimana adikku bisa makan esok hari. Membantu ibuku dengan mencuci beberapa
potong pakaian yang di titipkan. Hampir separuh waktu remaja ku habis disini.
Mengucek, merendam, menjemur hanya itu itu saja. Tak pernah terpikirkan oleh ku
dengan cinta, apapun namanya ibuku tak pernah menceritakan hal itu padaku
“ibu apakah ibu sampai sekarang
masih mencintai ayah”hari itu aku terfikir untuk bertanya itu pada ibuku
Ibuku berhenti sejenak. Tak
meneruskan mengangkat kain untuk dipindahkan ke ember. Menatap dalam bola
mataku
Segitu saja, tampa komentar. Itu
artinya ibuku tak mau aku menanyakan soal ayah, aku menelan ludah. Tapi malam sebelum
aku tidur, ibuku berbicara sepotong kata
yang membuatku tak bisa berandai andai
“jangan banyak berharap, mereka
itu tak sebaik itu!”
Itu seperti dokrin bagiku,
melupakan apapun yang indah menurut teman teman seusiaku. Menikmati masa remaja
mereka, mencari cinta sejati, melupakan buku buku itu, lalu larut dalam masa
remaja mereka yang menurut mereka singkat. “Nikmatilah karena hidup ini singkat
dan hanya sekali” begitu ungkapan artikel artikel di majalah majalah remaja
Sedangkan aku, tak ada siang
untukku, pulang sekolah aku telah duduk bercokol di kursi kecil lalu sibuk
dengan urusan menguras tenaga, sibuk dengan deterjen deterjen atau pewangi
pewangi yang bahkah bajuku pun tak tersentuh pewangi pewangi itu. ibuku
menghemat pemakaian, katanya itu khusus pada pelanggan yang memintanya. Hanya
bayaran lebih yang diberi pewangi. Seketika wangi wangi bunga bungaan itu tak
dapat kunikmati.
Andre, nama itu seharusnya aku tak
mengingatnya kali ini, tapi masalahnya hati ini tak bisa bersembunyi jika aku
memikirkanya. Aku bisa berpura pura lewat lampu meja ini. Aku tetap bisa
melihat wajahnya meski yang kulihat adalah kumpulan huruf huruf pada buku.
Berdosakah aku? ibuku menyuruhku belajar, bahkan disaat ibuku menyuruh ku
mencuci tetap ada bayangan itu dibusa busa sabun, berhenti sejenak sampai ibuku
memarahiku karena melamun
ÍÍÍ
Cinta bukanlah dosa,
Benar, tapi ibuku merasa berdosa
dengan ini, karena ibuku dulu adalah orang yang berada yang menikahi ayahku.
Hampir punya segalanya yang akhirnya memilih meninggalkan kakek yang waktu itu
sudah sakit sakitan. Ibuku buta akan cinta, memilih ayah membawanya. Durhaka
karena cinta. Tak manis yang di dapat, semua harta tandas karena ayahku, kakek
mati tak tenang, dan beginilah, setelah ayah pergi tampa jejak ibuku menguntai
tangis hanya karena kebodohan, tak melanjutkan sma karena terpikat pada pesona
dan janji janji ayahku. Apa jadi ijazah smp tak laku dan berlabuh menjadi
tukang cuci. Bermodal tenaga, maka dari sana aku mengerti, ibuku menginginkan
aku menjadi orang yang sukses sekurangnya aku bekerja bukan dengan otot otot ini
lagi tapi dengan pikiranku. Tak perlu menderita lagi, tak perlu koyo ataupun
balsem sebagai teman setia pengusir pegal pegal setiap malamnya
Dan itu buktinya, beberapa
prestasi berjejer di dalam map map itu. mulai dari juara kelas, juara lomba
sains, bahkan juara olahragapun pernah ku menangi. Setiap aku memenanginya, aku
semakin tergiur dengan tantangan berikutnya, segurat senyum dari bibir ibu
membuatku bersemangat lagi. usinya yang masih termasuk muda, 34 tahun ibu telah
hampir keriput, wajahnya mulai menua, tak seharusnya terjadi, perhatikan orang
orang kaya itu, mereka bahkan masih terlihat muda di usia kepala lima dengan anti aging, sesuatu yang tak mampu di
beli ibuku
Hidup memang kejam,
mencuci bukan pula tampa resiko,
kadang aku menumpahkan pemutih ke baju yang warna warna gelap, seketika
warnanya berubah, belang belang dan akibatnya apa tak ada jatah dari korban
tersebut bulan ini. aku ingat baju itu seharga seratus ribu lebih itu ogah
untuk memberikan upah pada ibuku. Dan pendapatan berkurang untuk bulan ini
diganti baju yang warnanya tak sinkron
“lain kali kamu hati hati, sudah
tahu makan saja susah, sudah pakai kacamata masih saja tak becus”
Perkatan itu menikam hulu
hatiku. Mereka tak akan merasakanya bukan? teman teman sekolah ku itu, mereka
hanya tahu dengan kisah kisah drama yang mereka saksikan sampai terisak .Sedangkan
aku, aku mak lampir itu mengalaminya langsung. Tapi sampai saat ini ibu masih
menjadi wanita yang paling ku sayangi
ÍÍÍ
Ibu,
aku bukan tak bisa menjaga komitmen itu
Tapi
aku juga punya perasaan lain, yang sulit kujelaskan
Kadang hidup ini aneh, aku merasakan
keanehan yang berbeda yang membuatku seakan merasa nyaman untuk beberapa saat.
Menatap wajah orang itu aku merasa aman dari apapun yang terjadi siang tadi.
Aku merasa mempunyai teman baru, temanku berbagi cerita. Kaca mata tebal ini
tak lagi menghalangi pemandanganku, seakan hanya wajah orang itu saja yang
terlihat jelas, makhlug maghlug Homo
sapiens lain sontak hilang, aku fokus dengan orang yang sedang duduk di
bangku deretan kedua paling kanan. Karena dia sedang menatapku hangat, meski
tak ada senyum, aku rasa aku telah dapat berkomunikasi. Menjelaskan jika aku
bukanlah orang yang baik baik saja. Mak lampir tak seperti anak anak yang lain.
Dia berbeda
Sejenak aku melepaskan tatapan nya,
aku tak begitu yakin apa dia melihatku atau tidak, atau munkin dia melihat
cahaya yang terpantulkan dari kacamata berbingkai keperakan ini. entahlah, tapi
dia selalu meluangkan waktu untuk melihatku, melongok kebelakang beberapa
waktu, hal itu saja, begitu beruntung buatku
Dia anak orang yang begitu sederhana,
dia anak baru yang mendapat beasiswa disekolah ini. dia pindahan dari sekolah
kampung tapi jangan salah otaknya berstandar internasional makanya dia bisa di
gasak ke sini. Wajahnya itu biasa saja, tapi menarik buatku. Munkin tak ada
anak anak lain yang tertarik kepadanya, penampilanya sama sama cupu, tapi
segalanya telah terinstal serba baik untukku
“akhirnya, si mak lampir itu punya
saingan juga, anaknya baik lagi, nggak kaku”ucap salah seorang cewek modis
meyindirku. Saat ingin masuk kelas
Saingan, rival begitulah. Anak itu
cendrung aktif di kelas, dia mudah bergaul meskipun cupu. Dia adalah kesempatan
bagi anak anak lain dan dapat dimamfaatkan jika tak ada pelajaran yang
dimengerti atau kocar kacir meminjam catatan waktu mau ujian.Hal itu tak akan
pernah didapat jika berurusan denganku.
“ndre makasih ya, mau ngajarin gue”
“sama sama, kan kalau ilmu semakin di
bagi maka semakin bertambah, makasih juga ya, udah traktir makan siang tadi”
Aku mendengar percakapan itu langsung
di kelas waktu jam istirahat. Ilmu akan bertambah jika di bagi kata kata itu
pernah ku dengar dari guru smp ku. Tapi jarang sekali orang pintar yang dapat
melakukan itu, termasuk aku
Aku bukan tak mau begitu, tapi aku
betul tak bisa bergaul dengan baik. Aku hanya mencurahkan ilmuku ke adik ku
yang masih duduk di bangku sd. Mengajarinya belajar membuat pr agar dia juga
seperti ku tapi sayangnya dia malas sekali, munkin karena masih kelas dua sd
Tak lama hanya butuh waktu sebentar,
tuhan menjawab doaku yang penasaran. Doa doa yang telah kulantunkan pada malam
malam larut itu. bersujud penuh penyesalan, penuh harap dan penuh pertanyaan
selama ini yang ku rasakan. Karena hari ini tuhan menuntaskan doaku pada jam
pulang sekolah. Andre menemuiku, di gerbang sekolah
“jani, mau gue antar nggak
pulangnya?”ucapnya menghadang langkahku yang tergesa gesa melewati kurumunan
siswa siswa lain yang hendak pulang
Aku menggeleng sebentar, tak sanggup
sebenarnya diri ini menolak. Tapi apa dayaku, bukankah ibuku tak menginginkan
ini terjadi
Aku lanjut menerobos gerimis, tampa
apa apa, tak ada payung. Aku tak yakin dengan hanya gerimis ini membuatku
sakit. Keteguhan hatiku masih bersemedi meski ku tahu andre mengikuti dengan
sepedanya menyusuri jalanan lengang, andre berhenti hendak berkata sesuatu
“jani, aku hanya ingin meminta pakaian
ku yang telah di cuci”
Aku terkejut luar biasa, apakah orang
tuanya juga pemakai jasa mencuci ibuku. Aku tidak mengerti
“pakaian?”
Dia mengangguk pasti.
Aku membiaranya menunggu di luar rumah
petak kami sementara aku lagi mencari baju yang telah di cuci di ruang
keluarga. Aku baru menyadari jika tak ada yang bernama andre di sana. Aku lupa
menanyakan siapa nama orang tuanya. Munkin atas nama orang tuanya.
Tapi lain yang kulihat, ibuku berisak
tangis memeluk andre di teras rumah. Aku bingung apa yang terjadi, mereka
terlihat akrap sekali.
“ibu”ucapku seketika
Ibuku melepaskan pelukanya, melihatku
dengan mata yang basah. Andre juga begitu.
“sinilah nak, kenalkan dia kakakmu”
Aku terkejut bukan main. Kakak?aku
punya kakak bagaimana bisa?bukankah aku anak satu satunya anak kandung ibu. Dan
yang aku tahu adikku adalah anak angkat ibu.
“kakak?”
Seketika gugurlah perasaan itu.
gugurlah tatapan nya yang menenangkan itu tak lebih hanya lah perasaan adik
seorang kakak yang terpisah lama dan di asuh oleh orang tua yang telah lama
berpisah. Aku tak menyadari, kini dia kakakku. Orang yang selama ini kuanggap
cinta. Ya sudahlah, meski ini tak sepenuhnya baik, sekurang kurangnya aku tahu
madsud cowok ini, mencari keluarganya yang hilang. Dia sendirian dan mengatakan
kalau ayah meninggal dan sekarang dia tinggal bersama keluarga angkat setelah
di titipkan di panti asuhan
tamat
Komentar
Posting Komentar