PERANAN PROBIOTIK TERHADAP PENCEGAHAN ALERGI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar belakang
           Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention (CDC), angka kejadian alergi di dunia meningkat 3 kali lipat sejak 1993 hingga 2006. Sementara itu, data World Allergy Organization (WAO) 2011 menunjukkan prevalensi alergi terus meningkat dengan angka 30-40% populasi dunia. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada angka pastinya, namun beberapa peneliti memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi di Indonesia mencapai 30% per tahunnya. (Doktersehat.com, 2012). Alergi merupakan penyakit yang timbul dikarenakan  reaksi berlebihan oleh sistem imun sebagai tanggapan pada kontak badan dengan bahan-bahan asing tertentu yang dapat memicu terjadinya alergi. Bahan bahan pemicu alergi tersebut seperti makanan, debu, obat-obatan, bulu serangga dan hewan, bakteri atau virus, dan suhu panas atau dingin.. 
            Dampak yang ditimbulkan alergi juga beraneka macam seperti dapat menyebabkan gangguan pada hidung, tenggorokan, telinga, mata, saluran pernapasan, pencernaan hinga kulit. Dampak buruk lainya seperti menurunnya  kualitas  hidup,  besarnya  biaya  pengobatan  dan terjadinya ko-morbiditas seperti asma, sinusitis dan otitis media. Pada anak, pengaruhnya bahkan sampai  pada  pada kualitas hidup bahkan masa depannya sampai pada akhirnya anak menerima konsekuensi dari alergi yang dideritanya seperti terbatasnya aktivitas belajar, bermain, sulit kosentrasi hingga sulit tidur
            Alergi bisa berkembang menjadi penyakit lain salah satunya adalah rinitis . Rinitis telah  masalah kesehatan global yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan seringkali berhubungan dengan multiple co-morbidity (Hoecke et al.,2007). Gejala yang ditimbulkan rhinitis adalah   beringus yang disebabkan oleh iritasi dan peradangan daerah internal hidung oleh peradangan kronis atau akut membran mukosa hidung virus, bakteri atau iritasi.
            Ada beberapa cara pencegahan alergi yang pernah  dilakukan diantaranya pencegahan primer dan sekunder.  Pencegahan  primer  sangat  efektif  namun  masih sulit  dilaksanakan,  karena  menyangkut  rekayasa  in-utero. Sedangkan  pencegahan  sekunder, misalnya  diet  eliminasi. Diet eliminasi dimulai dengan memberikan makanan yang jarang menimbulkan alergi dan menghindari makanan yang umumnya sering menimbulkan alergi. Diet  eliminasi,  tidak  mudah  diterapkan  di  masyarakat  luas,  karena  setiap  masyarakat atau bangsa telah mempunyai kepercayaan kuat mengenai apa yang wajar tentang jenis makanan.
            Seiring berkembangnya teknologi maka memungkinkan perubahan paradigma pencegahan alergi dari penghindaran faktor resiko menjadi paradigma induksi aktif toleransi imunologik (Wahn et al, 2004). Prospek probiotik sendiri telah diketahui efektif menurunkan respon alergi dengan membangkitkan  respons  imun  mukosa  S-IgA. Oleh karena itu, potensi probiotik sebagai pencegah alergi perlu dikembangkan mengingat pentingnya bagi penderita alergi tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
·         Apa yang dimaksud dengan alergi ?
·         Bagaimana mekanisme terjadinya alergi
·         Apa saja faktor yang dapat memicu terjadinya alergi?
·         Bagaimana mekanisme pencegahan alergi dengan cara induksi aktif probiotik?
·         Bagaimana pengaruh suplementasi probiotik Lactobacillus casei L shirota strain terhadap kadar IgE penderita rinitis alergi?
·         Bagaimana kualitas hidup penderita rinitis alergi terhadap pemberian  kombinasi probiotik
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
·         Mengetahui definisi alergi
·         Mengetahui mekanisme terjadinya alergi
·         Mengetahui faktor yang memicu terjadinya alergi
·         Mengetahui mekanisme pencegahan alergi dengan cara induksi aktif probiotik
·         Mengetahui  pengaruh suplementasi probiotik Lactobacillus casei L shirota strain terhadap kadar IgE penderita rinitis alergi
·         Mengetahui  kualitas hidup penderita rinitis alergi terhadap pemberian  kombinasi probiotik
Sedangkan kegunaan dari penulisan makalah ini adalah dapat dikembangkannya potensi probiotik sebagai pencegahan terhadap alergi.

1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah  ini menggunakan metode studi literatur yang didapat dari internet dan jurnal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Alergi
             Istilah alergi pertama kali digunakan oleh seorang dokter anak Austria bernama Clemens Pirquet (1874-1929). Kata alergi berasal dari kata-kata Greek "allos," yang berarti berbeda atau berubah dan "ergos," berarti bekerja atau beraksi. Alergi secara garis besar dirujuk sebagai "reaksi yang berubah". Kata alergi pertama kali digunakan pada tahun 1905 untuk menggambarkan reaksi-reaksi yang merugikan dari anak-anak yang diberikan suntikan-suntikan berulang dari serum kuda untuk melawan infeksi. Tahun berikutnya, istilah alergi diusulkan untuk menerangkan kereaktifan yang berubah yang tidak diharapkan ini.(Anonim ,2008)
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Alergi disebabkan oleh produksi antibodi berjenis IgE (Charles A. Janeway, et al,2010)
2.2 Mekanisme Terjadinya Alergi
Reaksi alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural, aktivasi dan recruitment sel-sel mast, eosinofil dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya gejala. Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh APC. Peptida alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi Limfosit T. Aktivasi Limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi Limfosit TH2 untuk memproduksi sitokin-sitokinnya (Kapsenberg, 2003). Kontrol specialized pattern recognition receptors (PRRs) yaitu Toll-like receptors (TLR) dari sel-sel dendritik (DCs) atas respons imun innate menentukan respons imun adaptif TH1, Treg atau TH2. Limfosit TH1 memproduksi IL-2, IFN-g dan TNF-a, sedangkan Limfosit TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan GM-CSF (Oettgen et al, 2003).Limfosit TH yang baru diaktifkan alergen akan berfenotip TH2. Produksi sitokin TH2 terutama IL- 4 akan mensupresi perkembangan TH1 dan produksi sitokin TH1 terutama TNF-a akan mensupresi perkembangan TH2. Bila sitokin yang dihasilkan Limfosit TH2 berinteraksi dengan Limfosit B, maka Limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi IgE.


Sitokin yang dihasilkan TH2 menstimulasi produksi sel mast, basofil dan eosinofil ( Borish L, 2003). Interaksi antara alergen, sel mast dan IgE menghasilkan degranulasi sel mast ( Ashcroft RE, 2004 ). Degranulasi sel mast melepaskan mediator histamin. Histamin yang dilepaskan sel mast ditangkap reseptor histamin di target organ. Bila terjadi interaksi histamin dengan reseptornya pada target organ, maka reaksi alergi akan terjadi ( Roecken et al 2003). Reseptor H1-histamin mempunyai peran yang lebih luas dalam proses radang daripada sekedar mediator yang menyebabkan alergi. Reseptor H2-histamin mempunyai peran dalam terjadinya rasa gatal dan nyeri pada kulit serta peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi perifer, sedangkan reseptor H3-histamin meningkatan pelepasan neurotransmitter seperti histamine, norepinephrine, asetilkolin, peptide dan 5-hidroksitriptamin ( Roecken et al 2003).
2.3 Pemicu Terjadinya Alergi
Bahan bahan yang dapat memicu terjadinya alergi disebut allergens. Menurut ilmu imunologi, alergen adalah senyawa yang dapat menginduksi imunoglobulin E (IgE) melalui paparan berupa inhalasi (dihirup), ingesti (proses menelan), kontak, ataupun injeksi. Respon tubuh terhadap suatu alergen terjadi melalui proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat inang, lingkungan, dan sifat fisik dari alergen ( Lockey, 2008) . Sebagian besar alergen merupakan protein yang dapat merangsang respon imun tubuh melalui reaksi enzimatik atau aktivasi reseptor pada sel epitelium mukosa secara langsung (Paul, 2008).
Contoh contoh alergen spesifik adalah
1.      Aeroallergen
Aeroalergen adalah jika penyebab alergi   tersebar di udara dan bersumber dari berbagai macam sumber ( Paul ,2008). Ada dua jenis aeroallergen, yaitu yang outdoor dan yang indoor. Contoh outdoor aeroallergen adalah antara lain, serbuk sari dari rumput / bunga, yang lebih penting adalah indoor aeroallergen, berhubung sebagian besar orang menghabiskan lebih dari 90% waktunya indoor. Yang sudah banyak diteliti dari indoor aeroallergens adalah house dust mites (HDM), alergen dari domestic pets, juga dari kecoa, semuanya berhubungan dengan kejadian asma.
2.      Alergen makanan dan obat obatan
Ketika makanan-makanan dan obat-obatan dicerna, allergen-allegen mungkin dapat mengakses kedalam aliran darah dan menjadi terpasang pada IgE tertentu didalam sel-sel pada tempat-tempat yang jauh seperti kulit atau selaput-selaput hidung. Kemampuan dari allergen-allergen untuk berpergian menerangkan bagaimana gejala-gejala dapat terjadi pada area-area yang berlainan dari saluran pencernaan. Reaksi-reaksi alergi makanan dapat mulai dengan pembengkakan lidah atau tenggorokan dan mungkin diikuti oleh kesemutan (tingling), mual, diare, atau kram perut. Kesulitan bernapas dengan hidung atau reaksi-reaksi kulit mungkin juga dapat terjadi. Dua grup utama allergen-allergen yang dicerna adalah:
  • Makanan: Makanan yang paling umum yang menyebabkan reaksi-reaksi alergi adalah susu sapi, ikan, kerang-kerangan, telur-telur, kacang-kacangan, kacang-kacang tumbuhan, kedele, dan gandum.
  • Obat-obatan (ketika diminum): contohnya, antibiotik-antibiotik dan aspirin
3.      Alergen lateks
Alergen  lateks adalah istilah medis yang mencakup berbagai alergi reaksi terhadap protein hadir dalam karet alam(lateks) . Alergi Lateks umumnya berkembang setelah beberapa kali terpapar produk yang mengandung lateks. Ketika lateks kontak dengan membran mukosa, membran dapat menyerap protein lateks. Sistem kekebalan tubuh dari beberapa individu yang rentan menghasilkan antibodi yang bereaksi imunologis dengan protein antigenik.  Benda benda yang terbuat dari lateks adalah sol sepatu , karet gelang , sarung tangan karet , kondom ,botol bayi , dan balon , ada banyak rute yang mungkin dari paparan yang dapat memicu reaksi. Orang yang memiliki  alergi lateks juga  memiliki reaksi alergi terhadap beberapa buah-buahan ( Lateks-Buah Syndrome ).Alergi yang disebabkan oleh karet lateks sering ditemukan pada pekerja industri karet, petugas kesehatan, dan orang yang menjalani operasi di saat bayi.
4.      Alergen yang disuntikan
Reaksi-reaksi yang paling berat dapat terjadi ketika allergen-allergen disuntikan kedalam tubuh dan mendapat akses langsung kedalam aliran darah. Akses ini membawa risiko dari reaksi umum, seperti anaphylaxis, yang dapat membahayakan nyawa. allergen-allergen yang paling umum disuntikan yang dapat menyebabkan rekasi-rekasi alergi yang berat seperti racun serangga, obat-obatan, vaksin-vaksin (termasuk suntikan alergi) dan hormon-hormon.
2.4 Pencegahan Terhadap Alergi dengan Metode Induksi Aktif dengan Probiotik
Selain pencegahan secara diet eliminasi dan rekayasa in utero, cara lain yang dapat dilakukan dalam mencegah alergi dengan  perbaikan homoestasis sistem biologis penderita alergi yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respons imun Th1 dan Th2 . Perkembangan ilmu dan tehnologi memungkinkan perubahan paradigma dari pencegahan alergi yang berupa penghindaran dari faktor resiko ke arah induksi aktif toleransi imunologik. Beberapa pendekatan sebagai langkah pencegahan yang saat ini tengah dievaluasi adalah pemberian produk mikrobial melalui jalur oral maupun intranasal,pemberian alergen melalui jalur mukosa (misalnya imunoterapi sublingual), pemberian alergen bersama produk mikrobial dan pemberian alergen bersama anti IgE
2.4.1 Definisi Probiotik
            Secara etimologi, istilah probiotik merupakan gabungan dari preposisi bahasa Latin''pro''yang artinya untuk dan kata sifat Yunani''βιωτικός''(biotik), yang artinya hidup. Probiotik adalah mikroorganisme hidup dianggap sehat bagi organisme inangnya. Menurut definisi saat ini diadopsi oleh FAO / WHO, probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat kesehatan pada host. Bakteri asam laktat (LAB) dan bifido adalah jenis yang paling umum dari mikroba yang digunakan sebagai probiotik, tetapi ragi tertentu dan basil juga dapat membantu.
Mikroba telah dapat dikatakan sebagai probiotik bila memiliki : kemampuan melekat pada jaringan epitel host; bertahan dari asam dan mampu mentoleransi empedu; melakukan eliminasi patogen; mengurangi perlekatan patogen; memproduksi: asam, hidrogen peroksida, dan antagonis bakteriosin untuk pertumbuhan patogen; aman, tak bersifat patogenik; tidak
karsinogenik; serta memperbaiki mikroflora usus
2.4.2 Cara Kerja Probiotik Dalam Mencegah Alergi
Cara kerja probiotik dalam mencegah alergi adalah  menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2. Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya memerlukan pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang. Penggunaan probiotik sebagai penginduksi aktif imunulogis disebabkan karena probiotik adalah  flora normal saluran cerna yang mampu mengontrol keseimbangan mikroflora usus dan menimbulkan efek fisiologis yang menguntungkan kesehatan host. Probiotik juga memiliki kemampuan sebagai aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena mempunyai molekul yang spesifik pada dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik tersebut dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Molekul-molekul spesifik (PAMPs) dikenali oleh reseptor-reseptor spesifik (specific pattern recognition receptors, PRRs). Salah satu PAMPs yang ada pada probiotik adalah lipoteichoic acid (LTA). LTA merupakan molekul yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi produksi sitokin) yang sama dengan LPS ( Järveläinen et al, 2001). TLRs adalah PRRs (pattern recognition receptors) mamalia berfungsi sebagai sinyal transducer yang berhubungan dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLRs juga membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan kostimulator (Zhang, 2001).
Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan mempunyai karakter menyalurkan sinyal melalui NF-kB, AP-1, dan MAP kinases. Efektor hilir dari beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR. MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk membentuk kompleks reseptor. IRAK berhubungan dengan molekul adapter TNF receptor associated factor (TRAF6). TRAF6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai. Pada tingkat molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari NF-kB, yang mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh mikroba. Dalam perannya membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif TLR, mampu menginduksi respons imun baik ke arah TH1 maupun Treg. TLR-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting dalam polarisasi respons imun oleh paparan mikroba (Iwasaki et al, 2004) . Jadi konsep probiotik pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang dimulai dari sistim imun innate dan mengarah pada pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang.
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Pengaruh suplementasi probiotik Lactobacillus casei L shirota strain terhadap kadar IgE penderita rinitis alergi(2011)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pengaruh suplemen probiotik Lactobacillus casei L shirota strain untuk mencegah penyakit rinitis yang dinilai dari
penurunan kadar IgE. Rinitis alergi adalah suatu penyakit peradangan kronis hidung dengan kecenderungan peningkatan prevalensi di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Rinitis alergi ditandai dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi dari: Bersin, hidung tersumbat, gatal hidung, dan Rhinorrhea. Mata, telinga, sinus, dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rhinitis alergi adalah penyebab paling umum dari rhinitis. Ini adalah kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi.
Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah studi eksperimental dengan rancangan pretest-postest design. Subjek penelitian adalah 45 orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi, diambil darah sampel untuk diperiksa kadar IgE dengan menggunakan elisa sebelum dan setelah diberi susu yang mengandung probiotik Lactobacillus casei shirota strain selama satu bulan.
            Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pada grafik satu terlihat jika hasil pemeriksaan IgE serum darah dari  45 sampel yang diperiksa, hampir 100% kadar IgE-nya mengalami penurunan. Sedangkan rata rata pemeriksaan kadar IgE sebelum suplementasi diperoleh hasil sebesar 291,88 IU/L( diagram 1). Setelah diberi suplementasi probiotik Lactobacillus casei shirota strain selama satu bulan, rata-rata kadar IgE-nya sebesar 141,43 IU/L. Hasil analisis statistik uji paired t-test diperoleh hasil p<0,05. Hal ini membuktikan bahwa suplementasi Lactobacillus casei L shirota strain menurunkan kadar IgE pada penderita rinitis alergi.
Keberhasilan suplementasi Lactobacillus casei L shirota strain menurunkan kadar IgE pada penderita rinitis alergi disebabkan karena  mikroflora intestinal dan probiotik mempengaruhi sistem imun host melalui efeknya pada barier mukosa dan maturasi sistem imun dengan cara meningkatkan  jumlah sel penghasil terutama IgA dan sel penghasil imunoglobulin yang lain, merangsang pelepasan interferon lokal yang memfasilitasi transport antigen serta meningkatkan ambilan antigen oleh Peyer’s patches. Efektor primer sistem imun dikenal sebagai innate imune system, yang merupakan sistem pertahanan non-spesifik yang dimediasi oleh monosit, makrofag dan dendritic cells. Sel-sel tersebut pada sistem innate berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Innate imune system berperan lebih lanjut mengatur fungsi antigen-spesific sistem imun adaptif, seperti keseimbangan respons imun terkait profil sitokin atau reseptor kemokin. Defek maturasi imun terkait kurangnya stimulasi mikroba yang berakibat disregulasi sistem imun innate dan adaptif. Satu studi melaporkan bahwa probiotik akan meningkatkan proliferasi splenosit sebagai akibat mitogen untuk T sel dan B sel (Gorbach, 2000).
3.2 Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi setelah Pemberian Kombinasi Probiotik (2012).
Pada jurnal yang kedua ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita rinitis alergi terhadap kombinasi probiotik berdasarkan skor nilai Kuisioner (SF36) dan kadar IgE.. Metode yang digunakan Penelitian ini menggunakan rancangan randomized post test with control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah pria dan wanita usia 18-25 tahun sebanyak 30 orang yang menderita rinitis alergi dengan derajat sedang sampai berat sesuai dengan kriteria WHO. Penelitian ini menggunakan 2 kelompok yaitu kelompok perlakukan dengan pemberian kombinasi probiotik dan kelompok kontrol yang diberikan plasebo. Kualitas hidup dinilai berdasarkan skor checklist dan kadar IgE. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji Mann Whitney U dengan interval kepercayaan 95%.
            Penelitian ini dilatar belakangi oleh  kualitas hidup penderita rhinitis alergi yang seringkali mengalami penurunan seperti penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial dan malah dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi. Kurang efektifnya terapi bagi penderita rinitis alergi dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup seperti penurunan konsentrasi akibat efek sedatif pada sebagian besar obat antihistamin. Oleh karena itu perlu dilakukan Pencarian alternatif terapi baru bagi penderita rhinitis alergi yang lebih efektif dan tidak menimbulkan efek samping .
            Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Dari tabel tersebut terlihat bahwa total skor kualitas hidup baik pada kontrol sebesar 12 orang, sedangkan pada kelompok perlakuan sebesar 14. Skor tersebut berdasarkan analisis data yang telah ditetapkan pada jurnal dimana tiap domain berbeda beda.  Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada domain masalah praktis dengan p = 0,006. Domain aktifitas, tidur, gejala non hidung/mata, gejala hidung, gejala mata dan emosi menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengannilai p masing-masing secara berurutan sebesar 0,717; 0,104; 0,063; 0,070; 0,150; dan0,291. Total skor kualitas hidup antara kelompok kontrol dan perlakuan tidak menunjukkanperbedaan bermakna (p = 0,291).

Tabel 2 menyajikan kadar IgE penderita rinitis yang menkonsumsi kombinasi probiotik dan tidak  . Hasil perhitungan persamaan regresi yaitu y = 0,002x + 0,724 dan nilai R2 sebesar 0,977 yang berarti bahwa terdapat hubungan erat antara nilai absorbansi dengan kadar IgE dimana semakin tinggi nilai absorbansi semakin besar kadar IgE. Rerata hasil kadar IgE setelah pemberian perlakuan lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (p=0,000).


            Penurunan kadar IgE diduga akibat peningkatan rasio IFN-γ: IL4 . Pemberian kombinasi probiotik berperan sebagai aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena mempunyai molekul yang spesifik pada dinding selnya yaitu peptidoglikan dan lipoteichoic acid yang akan berinteraksi dengan TLR2 dan TLR4 sehingga menghasilkan aktivasi sel T pada sistem imun, dengan cara polarisasi ke arah sel Th1 maupun Treg (Suprihatin et al., 2003; Iwasaki dan Medzhitov, 2004;). Sitokinyang berperan dalam stimulasi Th1 yaitu IFN-γ akan menekan respon imun Th2 dengan menurunkan sintesis IL-4 (Widuri et al., 2010). Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Mohamadzadeh. (2005) di Jepang bahwa spesies Lactobacillus acidophilus strain L-92 dapat menyeimbangkan respons imun Th1 dan Th2 melalui induksi sitokin Th1 yaitu IFN-γ (p<0,05). Terbukti dalam hasil penelitian tersebut bahwa secara signifikan kadar rerata IFN-γ lebih tinggi dan rerata IL-4 lebih rendah pada kelompok yang diinduksi oleh L- 92 dibandingkan dengan kelompok kontrol.
            Pemberian multiprobiotik lebih efektif dibandingkan monoprobiotik. Multiprobiotik yang digunakan adalah Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus paracasei, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus rhamnosus GG, Lactococcus cremors, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophilus dan Candida kefyr. Hasil penelitian selama 4 minggu menunjukkan kadar IFN-γ lebih tinggi dan kadar IL-4 yang lebih rendah pada kelompok yang diberikan multiprobiotik daripada kelompok yang hanya diberikan monoprobiotik (p<0,05). IFN-γ merupakan sitokin proinflamator yang dapat menghambat TDM Penggunaan Aspirin 163 produksi sitokin Th2 dalam respon imun. IL-4 sebagai sitokin Th2 mempunyai efek yang berlawanan dengan IFN-γ. Konsep multiprobiotik pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang dimulai dari sistem imun innate dan mengarahpada pengembalian host pada kondisi Th1-Th2 yang seimbang.


BAB IV
PENUTUP

1.1              Simpulan
1.      Alergi adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) .
2.      Mekanisme terjadinya reaksi alergi secara garis besar terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural, aktivasi dan recruitment sel-sel mast, eosinofil dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya gejala
3.      Zat yang mampu memicu terjadinya alergi disebut allergens. Contoh zat allergens dapat berasal dari aeroallergens, allergen makanan, allergen lateks dan allergen suntikan
4.      Cara kerja probiotik dalam mencegah alergi adalah  dengan cara menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2
5.      Suplementasi probiotik Lactobacillus casei L shirota strain terhadap penderita rinitis alergi  berpengaruh terhadap penurunan kadar IgE
6.      Pemberian kombinasi probiotik tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita rinitis namun berpengaruh terhadap penurunan kadar IgE

1.2              Saran
Setelah mengetahui potensi probiotik sebagai tindakan pencegahan terhadap alergi diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif untuk perkembangan kedepanya. Pada jurnal perlu dilakukan penelitian serupa dengan jumlah sampel yang lebih besar pada kontrol dan skrinning sampel dengan uji alergen yang lebih spesifik.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim,2008. ALERGI .http://www.totalkesehatananda.com/alergi1.html. (diakses tanggal   15 april 2013 pukul 09:00 WIB)

Ashcroft RE, 2004. Current epistemological problem in evidence based medicine. J Med Ethics;30: 131-5.

Borish L, 2003. Allergic rhinitis: Systemic inflammation and implications for management. J Allergy Clin Immunol;112,1021-31.

Charles A. Janeway et al. 2010. The nature and amount of antigenic peptide can also affect the differentiation of CD4 T cells.  Immunobiology, chapter 10-7.

Gorbach. 2000.Probiotics and gastrointestinal health. Am J Gastroentero. l; 95:S2-4.

Hoecke H V., Vandelbulcke L., Cauwenberge P V., 2007, Histamin and Leukotrine Receptor
Antagonism in The Treatment of Allergic Rhinitis an update. Drugs 67(18): 2717-
26.
Iwasaki A, Medzhitov R, 2004. Toll-like receptor control of the adaptive immune responses. Nature Immunol;5(10): 987-995. 22.

Järveläinen HA, Miettinen M, 2001. "Bakteerirakenteiden aiheuttama akuutti tulehdusvaste," Duodecim, , 2015-2022

Kapsenberg ML, 2003. Dendritic-cell Control of Pathogen-driven T-cell Polarization. Nature Reviews Immunology, 3,984-993.

Mohamadzadeh, M., 2005.Lactobacilli Active Human Dendritic Cells That Skew T Cell
Toward T Helper 1 Polarization, Department of Microbiology, Loisiana State
            university, New Orleans.

Oettgen HC, Geha RS, 2003. Regulation and biology of Immunoglobulin E. Pe. In : Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ eds. Pediatric Allergy. Principle and practice. 1st ed.St.Louis; Mosby: 39-50.

Richard F. Lockey, Dennis K. Ledford (2008). Allergens and allergen immunotherapy. Informa Healthcare. ISBN 978-1-4200-6197-0.Page.31-32

Roecken M, Grevers G, Burgdorf W, 2003. Allergen. In : Roecken M, Grevers G, Burgdorf W eds. Allergic Dissease 1th ed. New York ; Georg Thieme Verlag. 34-43.

Suprihatin, Nina, I., Madiapura, T., Sumarwan, I., 2003, Penatalaksanaan Rinitis Alergi
            Sesuai WHO-ARIA, Kongres Nasional XIII PERHATI, Bali.

Wahn U, Nickel R, Illi S, Lau S, Gru¨ber C, Hamelmann E, 2004. Strategies for early prevention of allergic disorders. Clin Exp All Rev; 4:194–199
Widuri, A., Suryani, L., 2010. Pengaruh Suplementasi Probiotik Lactobacillus casei L. Shirota strain terhadap Kadar IgE Penderita Rinitis Alergi, Bagian THT FK UMY, Yogyakarta.

William E. Paul (2008). Fundamental immunology. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-0-7817-6519-0.Page.1379-1381

Zhang G, Ghosh S, 2001. Toll-like receptor-mediated NF-kappaB activation: a phylogeneticallyconserved paradigm in innate immunity. J Clin Invest 107: 13-19.



Komentar

  1. betul banget,saya punya alergi dingin,agak mendingan setelah minum yakult

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Saraf Pada Ikan

Serangga Predator