PERANAN PROBIOTIK TERHADAP PENCEGAHAN ALERGI
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Berdasarkan data Center for
Disease Control and Prevention (CDC), angka kejadian alergi di dunia meningkat
3 kali lipat sejak 1993 hingga 2006. Sementara itu, data World Allergy
Organization (WAO) 2011 menunjukkan prevalensi alergi terus meningkat dengan
angka 30-40% populasi dunia. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada angka
pastinya, namun beberapa peneliti memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi
di Indonesia mencapai 30% per tahunnya. (Doktersehat.com, 2012). Alergi
merupakan penyakit yang timbul dikarenakan reaksi
berlebihan oleh sistem imun sebagai tanggapan pada kontak badan dengan
bahan-bahan asing tertentu yang dapat memicu terjadinya alergi. Bahan bahan
pemicu alergi tersebut seperti makanan, debu, obat-obatan, bulu serangga dan
hewan, bakteri atau virus, dan suhu panas atau dingin..
Dampak yang ditimbulkan alergi juga beraneka macam
seperti dapat menyebabkan gangguan pada hidung, tenggorokan, telinga,
mata, saluran pernapasan, pencernaan hinga kulit. Dampak buruk lainya seperti menurunnya kualitas
hidup, besarnya biaya
pengobatan dan terjadinya
ko-morbiditas seperti asma, sinusitis dan otitis media. Pada anak, pengaruhnya
bahkan sampai pada pada kualitas
hidup bahkan masa depannya sampai pada akhirnya anak menerima konsekuensi dari
alergi yang dideritanya seperti terbatasnya aktivitas belajar, bermain, sulit
kosentrasi hingga sulit tidur
Alergi bisa berkembang menjadi penyakit lain salah satunya adalah rinitis . Rinitis telah masalah kesehatan global yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan seringkali berhubungan dengan multiple co-morbidity (Hoecke et al.,2007). Gejala yang ditimbulkan rhinitis adalah beringus yang disebabkan oleh iritasi dan peradangan daerah internal hidung oleh peradangan kronis atau akut membran mukosa hidung virus, bakteri atau iritasi.
Alergi bisa berkembang menjadi penyakit lain salah satunya adalah rinitis . Rinitis telah masalah kesehatan global yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan seringkali berhubungan dengan multiple co-morbidity (Hoecke et al.,2007). Gejala yang ditimbulkan rhinitis adalah beringus yang disebabkan oleh iritasi dan peradangan daerah internal hidung oleh peradangan kronis atau akut membran mukosa hidung virus, bakteri atau iritasi.
Ada beberapa
cara pencegahan alergi yang pernah
dilakukan diantaranya pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan
primer sangat efektif
namun masih sulit dilaksanakan,
karena menyangkut rekayasa
in-utero. Sedangkan
pencegahan sekunder,
misalnya diet eliminasi. Diet eliminasi dimulai dengan
memberikan makanan yang jarang menimbulkan alergi dan menghindari makanan yang
umumnya sering menimbulkan alergi. Diet eliminasi, tidak
mudah diterapkan di
masyarakat luas, karena
setiap masyarakat atau bangsa
telah mempunyai kepercayaan kuat mengenai apa yang wajar tentang jenis makanan.
Seiring berkembangnya teknologi maka memungkinkan perubahan
paradigma pencegahan alergi dari penghindaran faktor resiko menjadi paradigma
induksi aktif toleransi imunologik (Wahn et al, 2004). Prospek probiotik
sendiri telah diketahui efektif menurunkan respon alergi dengan
membangkitkan respons imun
mukosa S-IgA. Oleh karena itu,
potensi probiotik sebagai pencegah alergi perlu dikembangkan mengingat pentingnya
bagi penderita alergi tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
·
Apa yang dimaksud dengan alergi ?
·
Bagaimana mekanisme terjadinya alergi
·
Apa saja faktor yang dapat memicu terjadinya alergi?
·
Bagaimana mekanisme pencegahan alergi dengan cara induksi
aktif probiotik?
·
Bagaimana
pengaruh suplementasi probiotik Lactobacillus casei L shirota strain terhadap
kadar IgE penderita rinitis alergi?
·
Bagaimana kualitas
hidup penderita rinitis alergi terhadap pemberian kombinasi probiotik
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
·
Mengetahui definisi alergi
·
Mengetahui mekanisme terjadinya alergi
·
Mengetahui faktor yang memicu terjadinya alergi
·
Mengetahui mekanisme pencegahan alergi dengan cara induksi
aktif probiotik
·
Mengetahui pengaruh suplementasi probiotik Lactobacillus
casei L shirota strain terhadap kadar IgE penderita rinitis alergi
·
Mengetahui kualitas hidup penderita rinitis alergi terhadap
pemberian kombinasi probiotik
Sedangkan kegunaan dari penulisan makalah ini adalah dapat dikembangkannya potensi probiotik sebagai pencegahan
terhadap alergi.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan
makalah ini menggunakan
metode studi literatur yang didapat dari internet dan jurnal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Alergi
Istilah
alergi pertama kali digunakan oleh seorang dokter anak Austria bernama Clemens
Pirquet (1874-1929). Kata alergi berasal dari kata-kata Greek
"allos," yang berarti berbeda atau berubah dan "ergos,"
berarti bekerja atau beraksi. Alergi secara garis besar dirujuk sebagai
"reaksi yang berubah". Kata alergi pertama kali digunakan pada tahun
1905 untuk menggambarkan reaksi-reaksi yang merugikan dari anak-anak yang
diberikan suntikan-suntikan berulang dari serum kuda untuk melawan infeksi.
Tahun berikutnya, istilah alergi diusulkan untuk menerangkan kereaktifan yang
berubah yang tidak diharapkan ini.(Anonim ,2008)
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya,
padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Alergi
disebabkan oleh produksi antibodi berjenis IgE (Charles A. Janeway, et al,2010)
2.2 Mekanisme Terjadinya Alergi
Reaksi alergi
terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel
struktural, aktivasi dan recruitment sel-sel mast, eosinofil dan
basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya gejala.
Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh APC. Peptida
alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi Limfosit T. Aktivasi
Limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi Limfosit TH2 untuk
memproduksi sitokin-sitokinnya (Kapsenberg, 2003). Kontrol specialized
pattern recognition receptors (PRRs) yaitu Toll-like receptors (TLR)
dari sel-sel dendritik (DCs) atas respons imun innate menentukan respons
imun adaptif TH1, Treg atau TH2. Limfosit TH1 memproduksi IL-2, IFN-g dan TNF-a,
sedangkan Limfosit TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan
GM-CSF (Oettgen et al, 2003).Limfosit TH yang baru diaktifkan alergen akan
berfenotip TH2. Produksi sitokin TH2 terutama IL- 4 akan mensupresi
perkembangan TH1 dan produksi sitokin TH1 terutama TNF-a akan mensupresi
perkembangan TH2. Bila sitokin yang dihasilkan Limfosit TH2 berinteraksi dengan
Limfosit B, maka Limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi IgE.
Sitokin yang
dihasilkan TH2 menstimulasi produksi sel mast, basofil dan eosinofil ( Borish
L, 2003). Interaksi antara alergen, sel mast dan IgE menghasilkan degranulasi
sel mast ( Ashcroft RE, 2004 ). Degranulasi sel mast melepaskan mediator
histamin. Histamin yang dilepaskan sel mast ditangkap reseptor histamin di target
organ. Bila terjadi interaksi histamin dengan reseptornya pada target organ,
maka reaksi alergi akan terjadi ( Roecken et al 2003). Reseptor H1-histamin
mempunyai peran yang lebih luas dalam proses radang daripada sekedar mediator
yang menyebabkan alergi. Reseptor H2-histamin mempunyai peran dalam terjadinya
rasa gatal dan nyeri pada kulit serta peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi
perifer, sedangkan reseptor H3-histamin meningkatan pelepasan neurotransmitter seperti
histamine, norepinephrine, asetilkolin, peptide dan 5-hidroksitriptamin (
Roecken et al 2003).
2.3
Pemicu Terjadinya Alergi
Bahan bahan yang dapat
memicu terjadinya alergi disebut allergens. Menurut ilmu imunologi, alergen adalah senyawa yang dapat menginduksi imunoglobulin E (IgE) melalui paparan
berupa inhalasi (dihirup), ingesti (proses menelan), kontak, ataupun injeksi. Respon tubuh terhadap suatu
alergen terjadi melalui proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu sifat inang, lingkungan, dan sifat fisik dari alergen ( Lockey,
2008) . Sebagian besar alergen
merupakan protein yang dapat merangsang respon imun tubuh melalui reaksi enzimatik atau aktivasi reseptor pada sel epitelium mukosa secara langsung (Paul, 2008).
Contoh contoh alergen
spesifik adalah
1. Aeroallergen
Aeroalergen
adalah jika penyebab alergi
tersebar di udara dan bersumber dari berbagai macam sumber ( Paul ,2008). Ada
dua jenis aeroallergen, yaitu yang outdoor dan yang indoor. Contoh outdoor
aeroallergen adalah antara lain, serbuk sari dari rumput / bunga, yang lebih
penting adalah indoor aeroallergen, berhubung sebagian besar orang menghabiskan
lebih dari 90% waktunya indoor. Yang sudah banyak diteliti dari indoor
aeroallergens adalah house dust mites (HDM), alergen dari domestic pets, juga
dari kecoa, semuanya berhubungan dengan kejadian asma.
2.
Alergen
makanan dan obat obatan
Ketika makanan-makanan dan
obat-obatan dicerna, allergen-allegen mungkin dapat mengakses kedalam aliran
darah dan menjadi terpasang pada IgE tertentu didalam sel-sel pada
tempat-tempat yang jauh seperti kulit atau selaput-selaput hidung. Kemampuan
dari allergen-allergen untuk berpergian menerangkan bagaimana gejala-gejala
dapat terjadi pada area-area yang berlainan dari saluran pencernaan.
Reaksi-reaksi alergi makanan dapat mulai dengan pembengkakan lidah atau
tenggorokan dan mungkin diikuti oleh kesemutan (tingling), mual, diare, atau
kram perut. Kesulitan bernapas dengan hidung atau reaksi-reaksi kulit mungkin
juga dapat terjadi. Dua grup utama allergen-allergen yang dicerna adalah:
- Makanan: Makanan yang paling umum yang menyebabkan reaksi-reaksi alergi adalah susu sapi, ikan, kerang-kerangan, telur-telur, kacang-kacangan, kacang-kacang tumbuhan, kedele, dan gandum.
- Obat-obatan (ketika diminum): contohnya, antibiotik-antibiotik dan aspirin
3.
Alergen
lateks
Alergen
lateks adalah istilah medis yang mencakup berbagai alergi reaksi terhadap protein hadir dalam karet alam(lateks) . Alergi Lateks umumnya berkembang setelah beberapa kali terpapar produk
yang mengandung lateks. Ketika lateks kontak dengan membran mukosa, membran dapat menyerap
protein lateks. Sistem kekebalan tubuh dari beberapa individu yang rentan menghasilkan
antibodi yang bereaksi imunologis dengan protein antigenik. Benda benda yang
terbuat dari lateks adalah sol sepatu , karet gelang , sarung tangan karet , kondom ,botol bayi , dan balon , ada banyak rute
yang mungkin dari paparan yang dapat memicu reaksi. Orang yang
memiliki alergi lateks juga memiliki reaksi alergi terhadap beberapa buah-buahan
( Lateks-Buah Syndrome ).Alergi yang disebabkan oleh karet lateks sering ditemukan pada pekerja industri karet, petugas kesehatan, dan orang
yang menjalani operasi di saat bayi.
4.
Alergen
yang disuntikan
Reaksi-reaksi yang paling berat
dapat terjadi ketika allergen-allergen disuntikan kedalam tubuh dan mendapat
akses langsung kedalam aliran darah. Akses ini membawa risiko dari reaksi umum,
seperti anaphylaxis, yang
dapat membahayakan nyawa. allergen-allergen yang paling umum disuntikan yang
dapat menyebabkan rekasi-rekasi alergi yang berat seperti racun serangga, obat-obatan,
vaksin-vaksin (termasuk suntikan alergi) dan hormon-hormon.
2.4 Pencegahan
Terhadap Alergi dengan Metode Induksi Aktif dengan Probiotik
Selain pencegahan secara diet eliminasi dan rekayasa
in utero, cara lain yang dapat dilakukan dalam mencegah alergi dengan perbaikan homoestasis sistem biologis
penderita alergi yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan
menyeimbangkan respons imun Th1 dan Th2 . Perkembangan ilmu dan tehnologi
memungkinkan perubahan paradigma dari pencegahan alergi yang berupa
penghindaran dari faktor resiko ke arah induksi aktif toleransi imunologik.
Beberapa pendekatan sebagai langkah pencegahan yang saat ini tengah dievaluasi
adalah pemberian produk mikrobial melalui jalur oral maupun intranasal,pemberian
alergen melalui jalur mukosa (misalnya imunoterapi sublingual), pemberian alergen bersama produk mikrobial dan
pemberian alergen bersama anti IgE
2.4.1
Definisi Probiotik
Secara etimologi, istilah probiotik merupakan gabungan
dari preposisi bahasa Latin''pro''yang artinya untuk dan kata sifat
Yunani''βιωτικός''(biotik), yang artinya hidup. Probiotik adalah mikroorganisme hidup dianggap
sehat bagi organisme inangnya. Menurut definisi saat ini diadopsi oleh FAO /
WHO, probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah
yang cukup dapat memberikan manfaat kesehatan pada host. Bakteri asam laktat
(LAB) dan bifido adalah jenis yang paling umum dari mikroba yang digunakan
sebagai probiotik, tetapi ragi tertentu dan basil juga dapat membantu.
Mikroba telah dapat dikatakan sebagai probiotik bila
memiliki : kemampuan melekat pada jaringan epitel host; bertahan dari asam dan
mampu mentoleransi empedu; melakukan eliminasi patogen; mengurangi perlekatan
patogen; memproduksi: asam, hidrogen peroksida, dan antagonis bakteriosin untuk
pertumbuhan patogen; aman, tak bersifat patogenik; tidak
karsinogenik;
serta memperbaiki mikroflora usus
2.4.2 Cara Kerja Probiotik Dalam Mencegah
Alergi
Cara kerja probiotik dalam mencegah alergi
adalah menyeimbangkan respon imun Th1
dan Th2. Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya
memerlukan pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang. Penggunaan
probiotik sebagai penginduksi aktif imunulogis disebabkan karena probiotik
adalah flora normal saluran cerna yang
mampu mengontrol keseimbangan mikroflora usus dan menimbulkan efek fisiologis
yang menguntungkan kesehatan host. Probiotik juga memiliki kemampuan sebagai
aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena mempunyai molekul yang
spesifik pada dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik
tersebut dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs).
Molekul-molekul spesifik (PAMPs) dikenali oleh reseptor-reseptor
spesifik (specific pattern recognition receptors, PRRs). Salah
satu PAMPs yang ada pada probiotik adalah lipoteichoic acid (LTA).
LTA merupakan molekul yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari
bakteri gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi
produksi sitokin) yang sama dengan LPS ( Järveläinen et al, 2001). TLRs adalah
PRRs (pattern recognition receptors) mamalia berfungsi sebagai sinyal
transducer yang berhubungan dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali
patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLRs juga membantu
menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif dengan menginduksi
berbagai molekul efektor dan kostimulator (Zhang, 2001).
Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan
mempunyai karakter menyalurkan sinyal melalui NF-kB, AP-1, dan MAP kinases.
Efektor hilir dari beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah adapter protein
MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR.
MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk
membentuk kompleks reseptor. IRAK berhubungan dengan molekul adapter TNF
receptor associated factor (TRAF6). TRAF6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K
family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB
inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan
NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang
sesuai. Pada tingkat molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari
NF-kB, yang mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin
proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh mikroba. Dalam perannya membantu
menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif TLR, mampu menginduksi
respons imun baik ke arah TH1 maupun Treg. TLR-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai
peran penting dalam polarisasi respons imun oleh paparan mikroba (Iwasaki et al,
2004) . Jadi konsep probiotik pada pencegahan alergi didasari pada induksi
aktif dari respon imunologik yang dimulai dari sistim imun innate dan mengarah
pada pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang.
BAB III
STUDI KASUS
3.1
Pengaruh
suplementasi probiotik Lactobacillus casei L shirota strain terhadap
kadar IgE penderita rinitis alergi(2011)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana
pengaruh suplemen probiotik Lactobacillus casei L shirota strain untuk
mencegah penyakit rinitis yang dinilai dari
penurunan
kadar IgE. Rinitis alergi adalah suatu penyakit peradangan kronis hidung dengan
kecenderungan peningkatan prevalensi di seluruh dunia dalam beberapa dekade
terakhir. Rinitis alergi ditandai
dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi dari: Bersin, hidung tersumbat,
gatal hidung, dan Rhinorrhea. Mata, telinga, sinus, dan tenggorokan juga
dapat terlibat. Rhinitis alergi adalah penyebab paling umum dari rhinitis. Ini
adalah kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi.
Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah studi
eksperimental dengan rancangan pretest-postest design. Subjek penelitian
adalah 45 orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi, diambil darah sampel
untuk diperiksa kadar IgE dengan menggunakan elisa sebelum dan setelah diberi
susu yang mengandung probiotik Lactobacillus casei shirota strain selama
satu bulan.
Hasil yang didapatkan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pada grafik satu terlihat jika hasil pemeriksaan IgE
serum darah dari 45 sampel yang
diperiksa, hampir 100% kadar IgE-nya mengalami penurunan. Sedangkan rata rata
pemeriksaan kadar IgE sebelum suplementasi diperoleh hasil sebesar 291,88 IU/L(
diagram 1). Setelah diberi suplementasi probiotik Lactobacillus casei
shirota strain selama satu bulan, rata-rata kadar IgE-nya sebesar
141,43 IU/L. Hasil analisis statistik uji paired t-test diperoleh hasil
p<0,05. Hal ini membuktikan bahwa suplementasi Lactobacillus casei L
shirota strain menurunkan kadar IgE pada penderita rinitis alergi.
Keberhasilan
suplementasi Lactobacillus casei L
shirota strain menurunkan kadar IgE pada penderita rinitis
alergi disebabkan karena mikroflora
intestinal dan probiotik mempengaruhi sistem imun host melalui efeknya
pada barier mukosa dan maturasi sistem imun dengan cara meningkatkan jumlah sel penghasil terutama IgA dan sel
penghasil imunoglobulin yang lain, merangsang pelepasan interferon lokal yang
memfasilitasi transport antigen serta meningkatkan ambilan antigen oleh Peyer’s
patches. Efektor primer sistem imun dikenal sebagai innate imune
system, yang merupakan sistem pertahanan non-spesifik yang dimediasi oleh
monosit, makrofag dan dendritic cells. Sel-sel tersebut pada sistem innate
berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Innate imune
system berperan lebih lanjut mengatur fungsi antigen-spesific sistem
imun adaptif, seperti keseimbangan respons imun terkait profil sitokin atau
reseptor kemokin. Defek maturasi imun terkait kurangnya stimulasi mikroba yang
berakibat disregulasi sistem imun innate dan adaptif. Satu studi
melaporkan bahwa probiotik akan meningkatkan proliferasi splenosit sebagai
akibat mitogen untuk T sel dan B sel (Gorbach, 2000).
3.2
Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi setelah Pemberian Kombinasi Probiotik
(2012).
Pada jurnal yang kedua ini
bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita rinitis alergi terhadap
kombinasi probiotik berdasarkan skor nilai Kuisioner
(SF36) dan kadar IgE.. Metode yang
digunakan Penelitian ini menggunakan rancangan randomized post test
with control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah pria dan
wanita usia 18-25 tahun sebanyak 30 orang yang menderita rinitis alergi dengan
derajat sedang sampai berat sesuai dengan kriteria WHO. Penelitian ini
menggunakan 2 kelompok yaitu kelompok perlakukan dengan pemberian kombinasi
probiotik dan kelompok kontrol yang diberikan plasebo. Kualitas hidup dinilai
berdasarkan skor checklist dan kadar IgE. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan uji Mann Whitney U dengan interval kepercayaan 95%.
Penelitian
ini dilatar belakangi oleh kualitas
hidup penderita rhinitis alergi yang seringkali mengalami penurunan seperti
penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial dan malah
dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi. Kurang efektifnya terapi
bagi penderita rinitis alergi dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup
seperti penurunan konsentrasi akibat efek sedatif pada sebagian besar obat
antihistamin. Oleh karena itu perlu dilakukan Pencarian alternatif terapi baru
bagi penderita rhinitis alergi yang lebih efektif dan tidak menimbulkan efek samping
.
Hasil yang didapatkan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Dari
tabel tersebut terlihat bahwa total skor kualitas hidup baik pada kontrol sebesar
12 orang, sedangkan pada kelompok perlakuan sebesar 14. Skor tersebut
berdasarkan analisis data yang telah ditetapkan pada jurnal dimana tiap domain
berbeda beda. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada domain masalah praktis
dengan p = 0,006. Domain aktifitas, tidur, gejala non hidung/mata,
gejala hidung, gejala mata dan emosi menunjukkan tidak terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengannilai p masing-masing
secara berurutan sebesar 0,717; 0,104; 0,063; 0,070; 0,150; dan0,291. Total
skor kualitas hidup antara kelompok kontrol dan perlakuan tidak menunjukkanperbedaan
bermakna (p = 0,291).
Tabel 2 menyajikan kadar IgE penderita rinitis yang
menkonsumsi kombinasi probiotik dan tidak
. Hasil perhitungan persamaan regresi yaitu y = 0,002x + 0,724 dan nilai
R2 sebesar 0,977 yang berarti bahwa terdapat hubungan erat antara nilai absorbansi
dengan kadar IgE dimana semakin tinggi nilai absorbansi semakin besar kadar
IgE. Rerata hasil kadar IgE setelah pemberian perlakuan lebih rendah secara
signifikan dibandingkan dengan kontrol (p=0,000).
Penurunan kadar IgE diduga akibat
peningkatan rasio IFN-γ: IL4 . Pemberian kombinasi probiotik berperan sebagai
aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena mempunyai molekul yang
spesifik pada dinding selnya yaitu peptidoglikan dan lipoteichoic
acid yang akan berinteraksi dengan TLR2 dan TLR4 sehingga menghasilkan
aktivasi sel T pada sistem imun, dengan cara polarisasi ke arah sel Th1 maupun
Treg (Suprihatin et al., 2003; Iwasaki dan Medzhitov, 2004;). Sitokinyang
berperan dalam stimulasi Th1 yaitu IFN-γ akan menekan respon imun Th2 dengan menurunkan
sintesis IL-4 (Widuri et al., 2010). Hasil penelitian ini mendukung
hasil penelitian Mohamadzadeh. (2005) di Jepang bahwa spesies Lactobacillus
acidophilus strain L-92 dapat menyeimbangkan respons imun Th1 dan
Th2 melalui induksi sitokin Th1 yaitu IFN-γ (p<0,05). Terbukti dalam
hasil penelitian tersebut bahwa secara signifikan kadar rerata IFN-γ lebih
tinggi dan rerata IL-4 lebih rendah pada kelompok yang diinduksi oleh L- 92
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pemberian multiprobiotik lebih
efektif dibandingkan monoprobiotik. Multiprobiotik yang digunakan adalah Lactobacillus
acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus fermentum,
Lactobacillus paracasei, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus
rhamnosus GG, Lactococcus cremors, Bifidobacterium longum, Streptococcus
thermophilus dan Candida kefyr. Hasil penelitian selama 4 minggu
menunjukkan kadar IFN-γ lebih tinggi dan kadar IL-4 yang lebih rendah pada
kelompok yang diberikan multiprobiotik daripada kelompok yang hanya diberikan monoprobiotik
(p<0,05). IFN-γ merupakan sitokin proinflamator yang dapat menghambat
TDM Penggunaan Aspirin 163 produksi sitokin Th2 dalam respon imun. IL-4
sebagai sitokin Th2 mempunyai efek yang berlawanan dengan IFN-γ. Konsep multiprobiotik
pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang
dimulai dari sistem imun innate dan mengarahpada pengembalian host pada
kondisi Th1-Th2 yang seimbang.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
1.1
Simpulan
1. Alergi
adalah kegagalan kekebalan
tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) .
2. Mekanisme terjadinya reaksi alergi secara
garis besar terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten,
aktivasi sel-sel struktural, aktivasi dan recruitment sel-sel mast,
eosinofil dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya
gejala
3. Zat
yang mampu memicu terjadinya alergi disebut allergens. Contoh zat allergens
dapat berasal dari aeroallergens, allergen makanan, allergen lateks dan
allergen suntikan
4. Cara
kerja probiotik dalam mencegah alergi adalah
dengan cara menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2
5. Suplementasi probiotik Lactobacillus casei L
shirota strain terhadap penderita rinitis alergi berpengaruh terhadap penurunan kadar IgE
6. Pemberian
kombinasi probiotik tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita rinitis
namun berpengaruh terhadap penurunan kadar IgE
1.2
Saran
Setelah mengetahui potensi probiotik sebagai
tindakan pencegahan terhadap alergi diharapkan dapat menjadi solusi yang
efektif untuk perkembangan kedepanya. Pada jurnal perlu dilakukan penelitian
serupa dengan jumlah sampel yang lebih besar pada kontrol dan skrinning sampel
dengan uji alergen yang lebih spesifik.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,2008. ALERGI .http://www.totalkesehatananda.com/alergi1.html. (diakses tanggal 15 april 2013 pukul 09:00 WIB)
Ashcroft RE,
2004. Current epistemological problem in
evidence based medicine. J Med Ethics;30: 131-5.
Borish L, 2003. Allergic rhinitis: Systemic inflammation and
implications for management. J Allergy Clin Immunol;112,1021-31.
Charles A. Janeway et
al. 2010. The nature and amount of
antigenic peptide can also affect the differentiation of CD4 T cells. Immunobiology, chapter 10-7.
Gorbach. 2000.Probiotics and gastrointestinal health.
Am J Gastroentero. l; 95:S2-4.
Hoecke H V.,
Vandelbulcke L., Cauwenberge P V., 2007, Histamin and Leukotrine Receptor
Antagonism in
The Treatment of Allergic Rhinitis an update. Drugs 67(18): 2717-
26.
Iwasaki A, Medzhitov R, 2004. Toll-like receptor control of the adaptive immune responses. Nature
Immunol;5(10): 987-995. 22.
Järveläinen HA, Miettinen M, 2001. "Bakteerirakenteiden aiheuttama akuutti
tulehdusvaste," Duodecim,
, 2015-2022
Kapsenberg ML,
2003. Dendritic-cell Control of
Pathogen-driven T-cell Polarization. Nature Reviews Immunology, 3,984-993.
Mohamadzadeh,
M., 2005.Lactobacilli Active Human
Dendritic Cells That Skew T Cell
Toward
T Helper 1 Polarization, Department of Microbiology,
Loisiana State
university, New Orleans.
Oettgen HC, Geha
RS, 2003. Regulation and biology of
Immunoglobulin E. Pe. In : Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ eds.
Pediatric Allergy. Principle and practice. 1st ed.St.Louis; Mosby: 39-50.
Richard F. Lockey, Dennis K. Ledford (2008). Allergens and allergen immunotherapy. Informa Healthcare. ISBN
978-1-4200-6197-0.Page.31-32
Roecken M,
Grevers G, Burgdorf W, 2003. Allergen. In
: Roecken M, Grevers G, Burgdorf W eds. Allergic Dissease 1th ed. New York
; Georg Thieme Verlag. 34-43.
Suprihatin,
Nina, I., Madiapura, T., Sumarwan, I., 2003, Penatalaksanaan Rinitis Alergi
Sesuai WHO-ARIA,
Kongres Nasional XIII PERHATI, Bali.
Wahn U, Nickel
R, Illi S, Lau S, Gru¨ber C, Hamelmann E, 2004. Strategies for early prevention of allergic disorders. Clin Exp All
Rev; 4:194–199
Widuri, A.,
Suryani, L., 2010. Pengaruh Suplementasi Probiotik Lactobacillus casei L.
Shirota strain terhadap Kadar IgE Penderita Rinitis Alergi, Bagian THT FK
UMY, Yogyakarta.
William E. Paul (2008). Fundamental immunology. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN
978-0-7817-6519-0.Page.1379-1381
Zhang G, Ghosh S, 2001. Toll-like receptor-mediated NF-kappaB activation: a
phylogeneticallyconserved paradigm in innate immunity. J Clin Invest 107:
13-19.
betul banget,saya punya alergi dingin,agak mendingan setelah minum yakult
BalasHapus