Jingga
Lagi
lagi senja ditempat yang sama. Di sebuah gubuk di tengah ibukota ya tentu saja
dengan lingkungan kumuh yang seadanya. Aku sadar saat melihat matahari jingga
sore ini tidak akan mengubah apa apa, tidak akan, aku tak berdaya menghentikan
tangis adik adiku yang merengek minta makan , ibuku yang lagi terkekang dirumah
sakit jiwa atau membebaskan ayahku di terali penjara. Berusaha menikmati sesuatu
yang hilang, berusaha melupakan sesuatu yang tak pernah terlupa. Bagaimanapun
diposisi yang serba kekurangan seperti saat ini sangat mustahil jika aku harus
mementingkan kepentinganku sendiri. udahlah, roda nasip keluargaku yang
sekarang emang lagi merosot, masalah demi masalah tak henti hentinya datang
mencoba. Dan kami sekarang hanya kaum terpinggirkan, dengan pandangan sebelah
mata manusia manusia yang sempat dibawah kami
Jakarta
, 17 september 2005. Aku memakai baju biru tua bergerak buru buru dikoridor
ruang persidangan. ibuku masih sibuk dengan penampilanya, sesekali dia melihat
dirinya dan lalu tersenyum pada kotak bedak yang sedang ditentengnya. Aku
berguman kesal, sesegera mungkin menarik tangan ibuku, menerobos kumpulan orang
orang dengan berbagai kepentingan disana. Duduk dikursi penonton, membuatku deg
deg an setengah mati
Ayah
bilang tadi malam, ya, ayah menelfonku setelah 1 bulan tidak pulang kerumah.
Hanya sedikit kalimat yang bisa aku tangkap, ayah menyuruhku untuk menjaga ibu
dan adik adik. Aku mengerti meski usiaku masih 15 tahun, ayah menyadari hasil
apa yang akan terlontarkan hakim saat ini. nadanya pasrah, maka saat itu
langitku seperti runtuh, rumah megah ini tak ada lagi pondasi, karena kalimat
itu semalaman aku mengurung diri ogah tidur. Bagaimanapun aku mencoba untuk
tidur aku malah kembali menyesal dengan rengekan rengekan aku yang selalu minta
dibelikan mobil mewah, baju bagus, perawatan kulit atau sekedar shoping di mall
bersama teman temanku. Membanggakan
kepada mereka karena aku adalah anak dari donatur yayasan, berlagak hebat
dihadapan orang yang kekurangan, membuat diriku seperti ratu yang serba
sempurna, aku telah tenggelam dengan popularitas yang aku beli dengan uang
ayahku
Semalam
itu, ibu tak henti hentinya klarifikasi tentang ayahku. Kayaknya sekeluarga ini
benar benar sama saja, dimataku, ibu selalu optimis dengan kasus ayah. Saat
teman teman ibu searisan mempertanyakan keadaaan ayah bagaimana, ibuku menjawab
jika ayah tak bersalah, lalu mengganti topik dengan menyombongkan anting
mewahnya yang dibeli dari luar negeri. Aku sangat tahu anting itu, itu hanya
hadiah pernikahan ke 12, ibu terlalu takut kehilangan gengsi sosialitanya. Ya
mungkin ibu terlalu bangga dengan decakan kagum dari ibu ibu kelas atas lainya.
Adik
adik ku. Riana dan riani. Sekembar yang sejak tk pun telah dijaga seperti menjaga aset
negara. Ayah menyewa sopir pribadi dengan 2 mobil sekaligus. Padahal kalau
dipikir pikir nih apa salahnya mereka diantar jemput dengan mobil yang sama
tiap harinya, lagian jarak rumah ke sekolah mereka itu tak lebih dari 300 meter.
Tapi ayah selalu bilang jika keamanan anak anaknya adalah nomor satu. Hanya
sebuah alibi dengan kesibukan mereka berdua, ayah yang jarang pulang kerumah
dan ibu yang selalu sibuk dengan hal hal glamournya. Mereka tak ada waktu untuk
kami, dan karena itu juga aku juga tak punya waktu untuk mereka, aku lebih
nyaman menikmati hari hariku bersama teman teman sekolahku dari kasta atas juga
Palu
itu meleset membuat sebagian orang bersorak bahagia. Aku langsung menggenggam
sandaran kursi. Tangisku pecah disambut ibuku yang tidak henti hentinya protes
jika putusanya ditinjau ulang lagi. 20 tahun penjara, bukan waktu yang sebentar
bukan? Vonis yang menurut sebagian orang lebih ringan dari dakwaan sebelumnya
yalni 28 tahun penjara. Tapi tetap saja, itu adalah kehancuran bagi kemewahan
kami. Tanganku lemah, ibuku tak henti hentinya menyerocos diikuti oleh isakan
tangis. Seketika hilanglah masa masa gemilang itu seperti lunturnya eye liner
dan bedak yang dipakai ibuku
Cukup
seminggu saja, harta kami semuanya dikembalikan pada negara. Aku, ibu dan adik
adik terlunta lunta dijalanan. Semua yang kami anggap sebagai teman dulu itu
berubah bermuka dua menjauhi kami. Berulang kali ibu meminta pendapatku harus
pergi kemana.........
lagi proses melanjutkan, dulu ceritanya ini pernah akan gue bawa lomba ke cerpen bondan, tapi nggak jadi karena ada penggantinya lumayanlah hadiahnya 1 keping vcd original :)
Komentar
Posting Komentar