Proyek Ngerjain Majun
Selama menulis
novel li(f)e yang pertama tergambar oleh saya adalah sosok cowok impian saya
tapi saya nggak terlalu banyak berharap dia adalah manusia yang bakal ada dimasa
depan. Hahaha, ya iyalah nggak sepadan banget. Tapi dengan menggambarkan
karakter majun disetiap kalimat, saya merasa ada jiwa yang selalu saya bawa,
yang saya pertahankan, yang saya jaga, meski aslinya mah dia kagak ada, saya
hanya merasa saya dimiliki oleh dia. Perasaan yang lucu tapi menentramkan ,
meski semu dia adalah pelipur lara saat saya diterpa kekacauan maupun kegalauan
hati. Sebuah sugesti yang membuat hati ditemani janji janji yang tak tahu kapan
akan ditepati.
Andaikan
saja, saya bukanlah saya. Ya, mungkin seorang yang seberuntung yani, kalau
dipikir pikir hidupnya kayak didunia mimpi aja, hidup kayak tokoh utama, yang
sebenarnya grafitasi dari novel ini. semua hal romantis terlalu dengan manusia
sesuper majun. Hal sial kadang kadang munkin yang bakal jadi introduksi untuk
seseorang yang kayak morgan. tapi tetap aja dia beruntung yang pasti bukan
kayak gue, sampai hari ini, nggak ada perputaran nasib khususnya untuk hal
cinta
Saya
bahagia, saat Yani juga bahagia, saat Majun dan Yani bersama dengan rekaan yang
dibikin sendiri. Saya seperti masuk kedalam hidup mereka. Mereka siapa? Yani
siapa? Lalu Majun siapa? Jiwa yang tak pernah hidup tapi dibikin hidupkah? Atau
sebenarnya mereka itu adalah gambaran diri saya, bagaimana hidup saya,
bagaimana ekspektasi saya. Mungkin saja. Tapi selama mengarang novel ini dengan
suka cita maupun air mata tetap saja, hidup akan kayak gini. Saya masih yang
dulu, terpuruk dengan segala komplikasi dunia. Masih takut untuk keluar dari
zona nyaman.
Ingin
melihat matahari pagi menyinari muka sendiri tapi bukan dilihat dari pantulan
cermin. Trus dengan apa? saya ingin memandangi diri sendiri. Sebenarnya dian
itu kayak apa. yang selalu menutup hati karena selalu takut untuk terjatuh, tak
mengizinkan perpisahan yang sebenarnya itu lumrah atau dian yang terlalu takut
untuk masuk kekehidupan orang lain karena takut terjebak dan tak bisa keluar
lagi meski orang itu telah meninggalkanya. Saya penakut, tak lebih dari pengecut.
Yang telah terbiasa dengan semua ambisi ambisi saya dalam hal pelajaran,
prestasi atau segala macam tetek bengek ingin dilihat kalau saya itu baik baik
saja. Padahal mah, hidup saya tak lebih dari guratan kekesalan kenapa saya
tidak seperti mereka. Apa yang harus saya lakukan agar saya seperti mereka,
sampai akhirnya saya mengukung diri saya sendiri, membuang masa remaja saya,
tidak menikmati bagaimana rasanya jatuh cinta, atau hidup seperti seorang diri
tak mengerti lingkungan, ya saya kesepian, sangat kesepian
Adakah
ternyaman didunia ini selain zona nyaman saya, selain kamar ini yang ukuranya
tak lebih dari 3X4 meter persegi? Iya ada, cerita ini, novel ini yang bisa
membuat saya keluar untuk berani mengungkapkan apa yang saya inginkan. Hanya
sebatas keinginan yang tak akan jadi kenyataan, karena itulah saya
berterimakasih pada pikiran pikiran dan segala problema perasaan yang saya hati
yang saya hadapi. Menumbalkan hal yang tak bisa saya ungkapkan, lalu saya
komunikasikan dengan kata kata yang selama ini cukup sukses membuat saya
berfikir jika laki laki yang tercipta buat saya itu ada. Meski akan bertemu
dalam keabadian untuk mencairkan hati saya yang dingin. Diamlah, percayalah,
meski Tuhan bilang indah pada waktunya bukan untuk waktu yang sekarang, tapi
masih ada nanti, kehidupan yang selanjutnya. Kehidupan yang seperti berhasil
menyatukan minyak dan air, mengubah segala yang tidak mungkin jadi yang
termungkinkan.
Komentar
Posting Komentar